Al kisah, pada waktu yang lampau ada sebuah pohon.
Pohon
itu sangat mencintai seorang kanak-kanak lelaki, dan begitu pula
sebaliknya, anak laki-laki itu mencintai pohon itu. Hampir tiap hari,
anak lelaki itu menghampiri pohon itu, memeluknya, dan bermain-main di
sekitarnya.
Jika anak itu kelelahan, ia berteduh di bawah pohon yang rindang itu dan akhirnya tertidur lelap.
Ketika pohon itu berbuah apel, alangkah gembiranya anak itu.
Sang anak memanjat pohon, memetik buahnya lalu memakan sepuas-puasnya, kemudian berayun-ayun di dahan pohon.
Waktu kemudian berlalu. Sang anak tumbuh menjadi lebih besar.
Suatu ketika anak itu menghampiri sang pohon, kemudian sang pohon berkata: ”Mari bermainlah denganku !”
“Aku
bukan anak kecil lagi, aku tidak bermain dengan pohon, aku
menginginkan barang-barang mainan, aku perlu uang untuk membelinya.
“Maaf,
aku tak memiliki uang, namun engkau bisa memetik seluruh buahku lalu
kau jual, sehingga kau nanti mempunyai uang,” kata pohon apel. Anak
laki-laki itu sangat gembira lalu memetik seluruh buah apel dan
membawanya pergi dengan bahagia. Pohon apel ikut berbahagia.
Anak laki-laki itu tidak pernah lagi mampir ke pohon apel, semenjak ia memetik buahnya. Pohon apel merasa sedih.
Pada
suatu hari, anak laki-laki itu yang telah menjadi dewasa, kembali
muncul menghampiri pohon apel. Pohon apel sangat bergembira dan berkata :
“Mari bermainlah denganku !”
“Aku
tak punya waktu untuk bermain ! Aku harus bekerja untuk menghidupi
keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat berteduh, dapat engkau
menolong kami ?” pinta lelaki itu.
“Maaf, aku tak punya rumah satupun. Tetapi engkau bisa menebang batang pohonku untuk membangun rumah,” saran pohon apel.
Kemudian laki-laki itu menebang seluruh dahan pohon apel dan mambawanya pergi dengan sukacita.
Pohon apel merasa bahagia melihat laki-laki itu, namun laki-laki itu tak pernah mengunjunginya lagi sejak itu.
Pada
suatu musim yang amat panas, laki-laki itu kembali lagi. Pohon apel
sangat gembira atas kedatangannya dan berkata :”Mari bermainlah
bersamaku!”
“Aku telah beranjak tua. Aku ingin berlayar untuk bersantai. Dapatkah engkau memberiku perahu ?” kata laki-laki itu.
“Pakailah batang pohonku untuk membuat perahu. Engkau bisa berlayar jauh dan engkau akan berbahagia nantinya,” kata pohon apel.
Kemudian
laki-laki itu memotong batang pohon apel untuk membuat perahu. Ia
berlayar dengan perahu hasil batang pohon apel itu dan untuk waktu yang
lama, ia tak nampak muncul lagi.
Pohon apel ikut merasa bahagia.
Akhirnya
laki-laki itu kembali lagi setelah bertahun-tahun lamanya. “Maaf
anakku, aku tak memiliki apa-apa lagi untuk bisa kuberikan kepadamu.
Tak ada buah apel lagi untukmu….. ,” kata pohon apel. “Tidak masalah,
aku sudah tak mempunyai gigi untuk menggigit….,” jawab lelaki itu yang
telah menjadi tua.
“Engkau sudah tak memiliki batang untuk bisa dipanjat. Akupun telah terlalu tua untuk bisa memanjat,” kata laki-laki tua itu.
“Aku
sungguh tak memiliki apapun untuk dapat kuberikan padamu….. sesuatu
yang masih tersisa kini hanyalah batang akarku yang telah mati ini….,”
kata pohon apel itu seraya menangis.
-
“Aku
kini tak banyak kebutuhan, yang kuperlukan sekarang adalah tempat
untuk beristirahat. Aku merasa lelah setelah menjalani hidup
bertahun-tahun…” jawab lelaki tua itu.
“Baiklah.
Akarku yang sudah mati ini adalah tempat yang nyaman untuk
beristirahat. Mari duduklah bersamaku dan beristirahatlah,” kata pohon
apel.
Anak
lelaki yang kini sudah menjadi tua bangka itu kemudian duduk di atas
akar pohon apel yang telah mati. Pohon apel merasa bahagia, tersenyum
sambil menitikkan air mata ...
Setiap orang memiliki “pohon apel” di dalam kehidupannya. Dan pohon apel itu adalah : ORANG TUA kita !! Orang tua yang rela berkorban demi kebahagiaan anaknya …
Suatu
ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang
bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya
hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan
rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu . Waktu terus
berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi
bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia
mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih . "Ayo ke sini bermain-main
lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak kecil yang
bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu."Aku ingin sekali
memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya"
Pohon
apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang.... tetapi kau
boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan
uang untuk membeli mainan kegemaranmu." Anak lelaki itu sangat senang.
Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh
suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon
apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu
datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang . "Ayo
bermain-main denganku lagi," kata pohon apel. "Aku tak punya waktu,"
jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal . Maukah kau menolongku?" Duh,
maaf aku pun tak memiliki rumah.
Tapi kau boleh menebang
semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu
dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat
anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.
Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu
musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat
bersuka cita menyambutnya.. "Ayo bermain-main lagi denganku," kata pohon
apel.. "Aku sedih ," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin
hidup tenang.. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi
aku
sebuah kapal untuk pesiar?" "Duh, maaf aku tak punya kapal,
tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat
kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat
kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi
datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu
datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. "Maaf anakku," kata pohon
apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu." "Tak apa. Aku
pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak
lelaki itu..
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa
kau panjat ," kata pohon apel. "Sekarang , aku sudah terlalu tua untuk
itu," jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah
sekian lama meninggalkanmu." "Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar
pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari,
marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Pohon apel itu adalah orang tua kita .
Ketika
kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika
kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika
kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang
tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka
berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak
lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah
cara kita memperlakukan orang tua kita.
Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita.
Sampaikan
pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima
kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.
Pada suatu ketika, sepasang suami istri, katakanlah nama mereka Smith, mengadakan 'garage sale'
untuk menjual barang-barang bekas yang tidak mereka butuhkan lagi.
Suami istri ini sudah setengah baya, dan anak-anak mereka telah
meninggalkan rumah untuk hidup mandiri.
Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi.
Saat
mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan
benda-benda yang sudah sedemikian lama tersimpan di gudang. Salah satu
di antaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah
pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau.
Sejak
pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah digunakan.
Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak buruk, dan
tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah mereka. Namun
karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya, cermin itu
tidak mereka kembalikan.
Demikianlah, cermin itu
teronggok di loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir
orang yang memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka
mengeluarkannya dari gudang, dan meletakkannya bersama dengan barang
lain untuk dijual keesokan hari.
Garage sale mereka
ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka penuh oleh
orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka jual.
Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga,
buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua
yang sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli.
Seorang lelaki menghampiri Mrs. Smith.
"Berapa harga cermin itu?" katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi. Mrs. Smith tercengang.
"Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah Anda sungguh ingin membelinya?" katanya.
"Ya,
tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus." jawab pria itu. Mrs. Smith
tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun
sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dan tidak berharga.
Setelah berpikir sejenak, Mrs. Smith berkata, "Hmm ... anda bisa membeli cermin itu untuk satu dolar."
Dengan
wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik selembar
uang satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith.
"Terima kasih," kata Mrs. Smith, "Sekarang cermin itu jadi milik Anda. Apakah perlu dibungkus?"
"Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang." jawab si pembeli..
Mrs.
Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya dan
meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas
pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan
pelindungnya dan muncullah warna keemasan dari baliknya.
Bingkai
cermin itu ternyata bercat emas yang sangat indah, dan warna biru aqua
yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung
bingkai itu!
"Ya, tepat seperti yang saya duga!
Terima kasih!" sorak pria itu dengan gembira. Mrs. Smith tidak bisa
berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa pergi oleh pemilik
barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih pantas daripada loteng
rumah yang sempit dan berdebu.
Kisah ini
menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita merasa
hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita melihat
hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun
pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur, bangun pagi, pegi bekerja,
pulang sore, tidur. Itu saja yang kita jalani setiap hari.
Sama
halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis
dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan
tidak cocok digantung di dinding. Padahal dibalik lapisan itu, ada warna
emas yang indah.
Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banyak hal yang dapat memperkaya hidup kita.
Setiap
saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup
kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup
kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita.
Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas?
Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti yang kita inginkan?
Setelah
dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith menyadari
nilai sesungguhnya dari cermin tersebut. Inginkah kita menyadari
keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak.
Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanyalah rutinitas belaka.
Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita.
Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengenal orang lebih baik.
John dan Jessica telah berumah tangga selama 7 tahun..
Mereka
saling mencintai, namun Jessica sejak awal menutupi semua perasaan
cintanya terhadap John..Ia begitu takut apabila John mengetahui betapa
ia mencintai pria itu, John lantas meninggalkannya sebagaimana
kekasih-kekasihnya selama ini..Tapi tidak bagi John.
.Ia selalu
menyatakan perasaan cintanya kepada Jessica dengan tulus dan begitu
terbuka..Setiap saat ketika bersama Jessica, John selalu menunjukkan
cintanya yang besar, seolah-olah itulah saat akhir John bersama
Jessica..
Jessica selalu bersikap tidak menyenangkan terhadap
John..Setiap saat dia selalu mencoba menguji seberapa besar cinta John
terhadapnya.
Jessica selalu mencoba melakukan hal-hal yang keterlaluan
dan diluar batas kepada John..Meski Jessica tahu betapa hal itu sungguh
salah, namun melihat sikap John yang tetap berlaku baik padanya, membuat
Jessica tetap bertahan untuk melihat seberapa besar kesungguhan cinta
pria yg dinikahinya itu..
Hari pertama pernikahan mereka..
Jessica bangun siang..Dia tidak sempat menyiapkan sarapan untuk John
ketika John hendak berangkat kerja..Namun John tetap tersenyum dan
mengatakan, "Tidak apa-apa..Nanti aku bisa sarapan di kantor.."
Saat
John pulang dari kantor, Jessica tidak sengaja memasak makanan yang
tidak disukai John..Meski menyadari hal itu, Jessica tetap memaksakan
agar suaminya mau makan makanan itu.
.John tetap tersenyum dan berkata, "
Wah..sepertinya sudah saatnya aku belajar menghadapi
tantangan..Masakanmu sepertinya tantangan yang hebat, sayang.
.Aku sudah
tidak sabar untuk menyantapnya." Jessica terkejut, tapi tidak mengatakan
apa-apa.
Tetapi Malaikat tahu betapa malam-malam saat Jessica
terlelap John memanjatkan doa, "Tuhan....Di pagi pertama pernikahan
kami Jessica tidak membuatkanku sarapan. Padahal aku begitu ingin
bercakap-cakap di meja makan bersamanya sambil membicarakan betapa indah
hari ini, di hari pertama kami menjalani kehidupan baru sebagai suami
istri.. Tapi tidak apa-apa, Tuhan..
Karena sepertinya Jessica kelelahan
setelah resepsi pernikahan kami tadi malam..Bantulah kekasih hatiku ini,
Tuhan agar dia boleh punya tenaga yang cukup untuk menghadapi hari baru
bersamaku besok..Tuhan, Engkau tau betapa aku tidak bisa makan
spaghetti karena pencernaanku yang tidak begitu baik..
Tapi sepertinya
Jessica sudah bekerja keras untuk masak makanan itu..Mampukan aku untuk
menghargai setiap apa yang dilakukan istriku kepadaku, Tuhan..Jangan
biarkan aku menyakiti perasaannya meski itu tidak mengenakkan bagiku.."
Tahun
kedua pernikahan mereka..John membangunkan Jessica pagi-pagi untuk
berdoa bersama..Namun Jessica menolak dan lebih memilih melanjutkan
tidurnya John tersenyum dan akhirnya berdoa seorang diri.
Sore
hari sepulang kantor, John mengajak Jessica berjalan-jalan ke
taman..Meski terpaksa, Jessica akhirnya mau juga ke tempat dimana dulu
perasaannya begitu berbunga-bunga saat bersama John..
Tetapi Jessica
menolak rangkulan John, dan berkata, "Jangan, John..Aku malu.."..John
tersenyum dan berkata, "Ya, aku mengerti.." Jessica melihat kekecewaan
dimata John, namun tidak melakukan apapun untuk menghilangkan kekecewaan
itu..
Tetapi Malaikat tahu betapa malam-malam setelah Jessica
terlelap, John memanjatkan doanya.." Tuhan..Ampuni aku yang tidak bisa
membawa istriku untuk lebih dekat padaMU pagi hari ini..Mungkin tidurnya
kurang karena pikirannya yang sedang berat..Tapi aku yakin, Tuhan besok
Jessica mau bersama-sama denganku bercakap-cakap kepadaMu..Tuhan,
Engkau juga tahu kesedihanku saat Jessica meolak kurangkul ketika ke
taman hari ini.
Tapi tidak apa-apa Dia sedang datang bulan, mungkin
karena itu perasaannya juga jadi lebih sensitive Mampukan aku untuk
melihat suasana hati istriku, Tuhan."
Tahun ketiga pernikahan
mereka. Mereka kini mempunyai seorang putera bernama Mark. Jessica
menjadi tidak pernah lagi meneruskan kebiasaannya membaca bersama John
sebelum tidur. Jessica semakin sering menolak ciuman John..
Jessica
memarahi John habis-habisan sore itu ketika John lupa mencuci tangan
saat akan menggendong Mark ketika John pulang kerja..Jessica tahu betapa
hal itu membuat John terpukul..Namun idealismenya terhadap mendidik
Mark membuat Jessica mengabaikan perasaan John..Dan John tetap
tersenyum..
Tetapi Malaikat tahu betapa malam-malam setelah
Jessica terlelap, John memanjatkan doanya.."Tuhan, Engkau tahu betapa
sedih hatiku saat ini..Semenjak kelahiran Mark, aku kehilangan begitu
banyak waktu bersama Jessica..Aku merindukan saat-saat kami membaca
bersama sebelum tidur dan menciuminya sebelum ia tertidur..
Tapi tidak
apa-apa..Dia begitu capek mengurusi Mark seharian saat aku bekerja di
kantor..Hanya saja, biarkanlah dia tetap terus tertidur dalam pelukanku,
Tuhan....Karena aku begitu mencintainya. Sore tadi Jessica memarahiku
karena aku lupa mencuci tangan saat menggendong Mark, Tuhan.Aku begitu
kangen pada anakku sehingga teledor melakukan sebagaimana yg diminta
istriku..Engkau tahu betapa aku terluka akan kata-kata Jessica,
Tuhan.Tapi tidak apa-apa..
Jessica mungkin hanya kuatir terhadap
kesehatan anak kami Mark apabila aku langsung menggendongnya. .Kesehatan
Mark lebih penting daripada harga diriku."
Tahun keempat
pernikahan mereka.. Jessica tidak ingat memasak makanan kesukaan John di
hari ulang tahunnya..Jessica terlalu sibuk belanja sehingga lupa bahwa
John selalu minta dibuatkan Blackforest dengan taburan coklat dan ceri
diatasnya setiap ulang tahunnya tiba..
Jessica juga lupa
menyetrika kemeja John yang menyebabkan John terlambat ke kantor pagi
itu karena John terpaksa menyetrika sendiri kemejanya..Jessica tau
kesalahannya, namun tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu hal yang
penting.
Tetapi Malaikat tahu betapa malam-malam setelah
Jessica terlelap, John memanjatkan doanya.."Tuhan, Untuk kali pertama
Jessica lupa membuatkan Blackforest kesukaanku di hari ulang tahunku
ini..Padahal aku sangat menyukai kue buatannya itu. Menikmati kue
Blackforest buatannya membuatku bersyukur mempunyai istri yang pandai
memasak sepertinya, dan merasakan cintanya padaku.. Namun tahun ini aku
tidak mendapatinya. Tapi tidak apa-apa..mungkin lebih banyak hal-hal
lain yang jauh lebih penting daripada sekedar Blackforest itu.
Paling
tidak, aku masih mendapatkan senyuman dan ciuman darinya hari ini Ampuni
aku, Tuhan apabila tadi pagi aku lupa tersenyum kepada Jessica..Aku
terlalu sibuk menyetrika bajuku dan memikirkan pekerjaanku di
kantor..Jessica sepertinya lupa untuk melakukan hal itu, meski aku sudah
meminta tolong padanya tadi malam. Jangan biarkan aku melampiaskan
emosiku karena dampratan atasanku akibat keterlambatanku hari ini kepada
Jessica, Tuhan..
Jessica mungkin keliru menyetrika kemeja mana yang
seharusnya kupakai hari ini.. Lagipula, sepatuku begitu mengkilap..Aku
yakin Jessica sudah berusaha keras agar aku kelihatan menarik saat
presentasiku tadi..Terima kasih untuk kebaikan istriku, Tuhan."
Tahun
kelima pernikahan mereka. Jessica menampar dan menyalahkan John karena
Mark sakit sepulang mereka berenang..John terlalu asyik bermain-main
dengan Mark sehingga tidak menyadari betapa Mark sangat sensitive
terhadap dinginnya air kolam renang, yang mengakibatkan Mark terpaksa
dirawat dirumah sakit....
Jessica mengancam akan meninggalkan
John apabila terjadi apa-apa dengan Mark..Jessica melihat genangan air
mata di mata John, namun kekerasan hatinya lebih menguasainya ketimbang
perasaan John.
Tetapi Malaikat tahu betapa saat itu John
lantas menuju ke Kapel rumah sakit dan memanjatkan doanya sambil
menangis.." Tuhan..Tadi Jessica menamparku karena kelalaianku menjaga
Mark sehingga dia sakit..
Belum pernah Jessica bersikap dan berkata
sekasar itu padaku, Tuhan..Tapi tidak apa-apa..Jessica benar-benar
kuatir terhadap anak kami sehingga ia bersikap demikian..
Tapi Tuhan, aku
begitu terluka saat ia mengatakan akan meninggalkanku. Engkau tahu
betapa ia adalah belahan jiwaku. Jangan biarkan hal itu terjadi,
Tuhan..Mungkin dia begitu dikuasai kekuatiran sehingga melampiaskannya
padaku..Tidak apa-apa, Tuhan..Tidak apa-apa.
Asal dia mendapat
ketenangan, aku akan merasa bersyukur sekali.. Dan sembuhkanlah putera
kami, Mark agar dia boleh kembali dapat ceria dan bermain-main bersama
kami lagi, Tuhan.."
Tahun keenam pernikahan mereka.. Jessica
semakin menjaga jarak dengan John setelah kehadiran Rebecca, puteri
mereka..Jessica tidak pernah lagi menemani John makan malam karena
menjaga puteri mereka yang baru berusia 5 bulan.
Mungkin
Anda pernah menonton America's Most Wanted, program televisi yang
melakukan reka ulang kisah-kisah kejahatan dan memotivasi para
pemirsanya untuk menolong pihak yang berwajib mencari dan menangkap para
pelaku kejahatan, yang sering kali merupakan penjahat sadis. Pembawa
acara program ini adalah John Wals.
Mungkin
Anda mengira John Wals adalah seorang jurnalis atau aktor - seorang
yang professional dalam dunia pertelevisian - tetapi sebenarnya tidak
demikian. Ini adalah kisah yang dialami John Wals.
John
awalnya memiliki usaha sendiri bersama tiga orang mitranya, mereka
melakukan pembangunan berbagai hotel mewah. Tetapi suatu hari putra John
diculik, tetapi karena tidak ada bukti tentang kejahatan tersebut,
pihak berwenang lambat untuk menolong John dan istrinya dalam menemukan
putra mereka. Mereka mencari selama enam belas hari, dan tragisnya anak
laki-laki tersebut ditemukan dalam keadaan tewas.
Kehidupan
John hancur sebagaimana keadaan hatinya karena kehilangan buah hati
yang dikasihinya. Berat badannya turun drastis, rumahnya disita, bahkan
bisnisnya hancur. Ia telah kehilangan semua harapan.
Hingga
suatu hari John bertemu dengan Dr.Ronald Wright, seorang ahli koroner
didaerahnya yang bertanya padanya, "Anda sedang berpikir tentang bunuh
diri, bukan?"
"Untuk
apa lagi saya harus hidup," jawab John. "Saya tidak mempunyai apa-apa.
Anak saya satu-satunya telah dibunuh. Saya bahkan tidak bisa bicara
dengan istri saya. Saya tidak mempunyai pekerjaan, rumah saya disita,
seluruh hidup saya berakhir."
"Tidak,
tidak demikian," jawab Dr.Ronald. "Anda fasih berbicara. Anda bisa
menyusun sebuah kampanye terbesar untuk anak hilang dalam sejarah
Florida. Pergilah dan berusahalah untuk mengubah segala sesuatu."
John
berkata bahwa itu adalah nasihat terbaik yang ia pernah dapatkan dari
siapapun. Itu memberikannya sebuah tujuan hidup. Dan tujuan hidup itu
memberikannya lebih dari sebuah alasan untuk tidak bunuh diri. Itu
memberinya kekuatan untuk melayani dan menolong orang lain. Pada tahun
1988, ia memulai acara America's Most Wanted yang masih terus berlanjut
hingga saat ini. Acara itu telah berjasa atas penangkapan 1050 penjahat
dan juga empat belas nama yang terdaftar dalam FBI's Most Wanted, dan
juga menyelamatkan puluhan anak-anak yang hilang.
John
menemukan tujuan hidupnya saat dia berada di lembah terdalam
kehidupannya, dan dia berhasil bangkit dan bahkan menjadi berkat bagi
banyak orang. Hal yang sama juga dapat Anda lakukan, ketika Anda
menemukan tujuan hidup Anda, maka Anda akan mencapai potensi maksimal
Anda.
Sumber: Talent Is Never Enought; John Maxwell;Immanuel Publishing
PELAJARI KETIGA KEBENARAN INI HINGGA KAU MENGERTI:
PERTAMA, APAKAH YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA.
KEDUA, APA YANG TAK DIIJINKAN PADA MANUSIA.
KETIGA, APA YANG PALING DIPERLUKAN MANUSIA.
Dongeng Rakyat Rusia
Mikhail Dan Keluarga Simon
Jaman dahulu kala di Rusia hidup pasangan suami-istri Simon dan Matrena.
Simon yang miskin ini adalah seorang pembuat sepatu. Meskipun
hidupnya tidaklah berkecukupan, Simon adalah seorang yang mensyukuri
hidupnya yang pas-pasan. Masih banyak orang lain yang hidup lebih miskin
daripada Simon.
Banyak orang-orang itu yang malah berhutang padanya.
Kebanyakan berhutang ongkos pembuatan sepatu. Maklumlah, di Rusia sangat
dingin sehingga kepemilikan sepatu dan mantel merupakan hal yang mutlak
jika tidak mau mati kedinginan.
Suatu hari keluarga tersebut hendak membeli mantel baru karena mantel
mereka sudah banyak yang berlubang-lubang. Uang simpanan mereka hanya 3
rubel (rubel = mata uang Rusia) padahal mantel baru yang paling murah
harganya 5 rubel.
Kata Matrena pada suaminya, "Simon, tagihlah hutang
orang-orang yang tempo hari kita buatkan sepatu. Siapa tahu mereka kini
punya uang."
Maka Simon pun berangkat pergi menagih hutang. Tapi sungguh sial, tak
satu pun yang membayar. Hanya ada seorang janda yang memberinya 20
kopek (kopek uang receh Rusia). Dengan sedih Simon pulang.
"Batallah
rencana kami mempunyai mantel baru", pikirnya. Di warung, Simon minum
vodka untuk menghangatkan badannya yang kedinginan dengan uang 20 kopek
tadi.
Dalam perjalanan pulang, Simon melewati gereja, dan saat itu ia
melihat sesosok manusia yang sangat putih bersandar di dinding luar
gereja. Orang itu tak berpakaian dan kelihatan sekali ia sangat
kedinginan.
Simon ketakutan, "Siapakah dia ? Setankah ? Ah, daripada
terlibat macam-macam lebih baik aku pulang saja".
Simon bergegas
mempercepat langkahnya sambil sesekali mengawasi belakangnya, ia takut
kalau orang itu tiba-tiba mengejarnya.
Namun ketika semakin jauh, suara hatinya berkata "HAI SIMON, TAK
MALUKAH KAU ? KAU PUNYA MANTEL MESKIPUN SUDAH BERLUBANG-LUBANG,
SEDANGKAN ORANG ITU TELANJANG. PANTASKAH ORANG MENINGGALKAN SESAMANYA
BEGITU SAJA ?" Simon ragu, tapi akhirnya toh ia balik lagi ke tempat
orang itu bersandar.
Ketika sudah dekat, dilihatnya orang itu ternyata pria yang wajahnya
sungguh tampan. Kulitnya bersih seperti kulit bangsawan.
Badannya
terlihat lemas dan tidak berdaya, namun sorot matanya menyiratkan rasa
terima kasih yang amat sangat ketika Simon memakaikan mantel terluarnya
kepada orang itu dan memapahnya berdiri. Ia tidak bisa menjawab sepatah
kata pun atas pertanyaan- pertanyaan Simon, sehingga Simon memutuskan
untuk membawanya pulang.
Sesampainya di rumah, Matrena sudah menunggu. Ia marah sekali karena
melihat Simon tidak membawa mantel baru, apalagi ketika dilihatnya Simon
membawa seorang pria asing.
Dia nyerocos marah-marah, "Simon, siapa
ini? Mana mantel barunya ? Astaga ! Kau bau vodka. Teganya kau mabuk
menghabiskan uang yang seharusnya kaubelikan mantel !!"
Simon mencoba menyabarkan Matrena, "Sabar, Matrena.... dengar dulu
penjelasanku. Aku tidak mabuk, aku hanya minum vodka sedikit untuk
mengusir hawa dingin. Adapun orang ini kutemukan di luar gereja, ia
kedinginan, jadi kuajak sekalian pulang". "Bohong !! Aku tak percaya....
sudahlah, pokoknya aku tak mau dengar ceritamu ! Malam ini aku tak akan
menyiapkan makan malam.
Cari saja makan sendiri ! Sudah tahu kita ini
miskin kok masih sok suci menolong orang segala !! Usir saja dia !!"
"Astaga, Matrena ! Jangan berkata begitu, seharusnya kita bersyukur
karena kita masih bisa makan dan punya pakaian, sedangkan orang ini
telanjang dan kelaparan. Tidakkah di hatimu ada sedikit cinta kasih
Tuhan ??" Matrena menatap wajah pria asing itu, mendadak ia merasa iba.
Tanpa mengomel lagi disiapkannya makan malam sederhana berupa roti
keras dan bir hangat.
"Silakan makan, hanya sebeginilah makanan yang
ada. Siapa namamu dan darimana asalmu ? Bagaimana ceritanya kau bisa
telanjang di luar gereja? Apakah seseorang telah merampokmu ?"
Tiba-tiba wajah pria asing itu bercahaya.
Mukanya berseri dan ia
tersenyum untuk pertama kalinya.
"Namaku Mikhail, asalku dari jauh.
Sayang sekali banyak yang tak dapat kuceritakan. Kelak akan tiba saatnya
aku boleh menceritakan semua yang kalian ingin ketahui tentang aku. Aku
akan sangat berterima kasih kalau kalian mau menerimaku bekerja di
sini."
"Ah, Mikhail, usaha sepatuku ini cuma usaha kecil.
Aku takkan sanggup
menggajimu", demikian Simon menjawab. "Tak apa, Simon. Kalau kau belum
sanggup menggajiku, aku tak keberatan kerja tanpa gaji asalkan aku
mendapat makan dan tempat untuk tidur."
"Baiklah kalau kau memang mau begitu. Besok kau mulai bekerja".
Malamnya pasangan suami-istri itu tak dapat tidur. Mereka
bertanya-tanya. "Simon tidakkah kita keliru menerima orang itu ? Kita
ini miskin. Bagaimana jika Mikhail itu ternyata buronan ? Kita bisa
terlibat kesulitan", Matrena bertanya dengan gelisah pada Simon. Simon
menjawab, "Sudahlah Matrena.
Percayalah pada penyelenggaraan Tuhan.
Biarlah ia tinggal di sini.
Tingkah lakunya cukup baik. Kalau ternyata
ia berperilaku tidak baik, segera kuusir dia".
Esoknya Mikhail mulai bekerja membantu Simon membuat dan memperbaiki
sepatu. Di bengkelnya, Simon mengajari Mikhail memintal benang dan
membuat pola serta menjahit kulit untuk sepatu. Sungguh aneh, baru tiga
hari belajar, Mikhail sudah bisa membuat sepatu lebih baik dan rapi
daripada Simon.
Lama kelamaan bengkel sepatu Simon mulai terkenal karena sepatu
buatan Mikhail yang bagus. Banyak pesanan mengalir dari dari desa-desa
yang penduduknya kaya. Usaha Simon menjadi maju. Ia tidak lagi miskin.
Keluarga itu sangat bersyukur karena mereka sadar, tanpa bantuan
tangan terampil Mikhail, usaha mereka takkan semaju ini. Namun mereka
juga terus bertanya- tanya dalam hati, siapa sebenarnya Mikhail ini.
Anehnya, selama Mikhail tinggal bersama mereka, baru sekali saja ia
tersenyum, yaitu dulu saat Matrena memberi Mikhail makan. Namun meski
tanpa senyum, muka Mikhail selalu berseri sehingga orang tak takut
melihat wajahnya.
Suatu hari datanglah seorang kaya bersama pelayannya. Orang itu
tinggi besar, galak dan terlihat kejam. "Hai Simon, kudengar kau dan
pembantumu pandai membuat sepatu. Aku minta dibuatkan sepatu yang harus
tahan setahun mengahadapi cuaca dingin. Kalau sepatu itu rusak sebelum
setahun, kuseret kau ke muka hakim untuk dipenjarakan !! Ini, kubawakan
kulit terbaik untuk bahan sepatu. Awas, hati-hati; ini kulit yang sangat
mahal!"
Di pojok ruangan, Mikhail yang sedari tadi duduk diam, tiba-tiba
tersenyum. Mukanya bercahaya, persis seperti dulu ketika ia pertama
kalinya tersenyum.
Orang kaya yang melihatnya membentak, "Hei, tukang
sepatu, awas jangan mengejekku, ya !! Bukan hanya majikanmu yang
kumasukkan penjara kalau sepatuku jebol sebelum setahun. Kau juga takkan
lolos dariku !!"
Sebenarnya Simon enggan berurusan dengan orang ini. Ia baru saja
hendak menolak pesanan itu ketika Mikhail memberi isyarat agar ia
menerima pesanan itu. Setelah harga disepakati, orang itu pun pergi
pulang. Simon berkata, "Mikhail, kau sajalah yang mengerjakan sepatu
itu. Aku sudah mulai tua.
Mataku agak kurang awas untuk mengerjakan
sepatu semahal ini. Biar aku mengerjakan pesanan lain saja. Kau
berkonsentrasi menyelesaikan pesanan ini. Hati- hati, ya. Aku tak mau
salah satu atau malah kita berdua masuk penjara."
Ketika Mikhail selesai mengerjakan sepatu itu, bukan main terkejutnya
Simon.
"Astaga, Mikhail, kenapa kaubuat sepatu anak-anak ? Bukankah
yang memesan itu orangnya tinggi besar ? Aduh, bagaimana ini ? Celaka,
kita bisa masuk penjara karena....", belum selesai Simon berkata, datang
si pelayan orang kaya. "Majikanku sudah meninggal. Pesanan dibatalkan.
Jika masih ada sisa kulit, istri majikanku minta dibuatkan sepatu
anak-anak saja". "Ini, sepatu anak-anak sudah kubuatkan.
Silakan bayar
ongkosnya pada Simon", Mikhail menyerahkan sepatu buatannya pada pelayan
itu. Pelayan itu terkejut, tapi ia diam saja meskipun heran darimana
Mikhail tahu tentang pesanan sepatu anak-anak itu.
Tahun demi tahun berlalu, Mikhail tetap tidak pernah tersenyum
kecuali pada dua kali peristiwa tadi. Meskipun penasaran, Simon dan
Matrena tak pernah berani menyinggung-nyinggung soal asal usul Mikhail
karena takut ia akan meninggalkan mereka.
Suatu hari datanglah seorang ibu dengan dua orang anak kembar yang
salah satu kakinya pincang. Ia minta dibuatkan sepatu untuk kedua anak
itu. Simon heran sebab Mikhail tampak sangat gelisah. Mukanya muram,
padahal biasanya tidak pernah begitu.
Saat mereka hendak pulang, Matrena
bertanya pada ibu itu, "Mengapa salah satu dari si kembar ini kakinya
pincang ?" Ibu itu menjelaskan, "Sebenarnya mereka bukan anak kandungku.
Mereka kupungut ketika ibunya meninggal sewaktu melahirkan mereka.
Padahal belum lama ayah mereka juga meninggal. Kasihan, semalaman ibu
mereka yang sudah meninggal itu tergeletak dan menindih salah satu kaki
anak ini.
Itu sebabnya ia pincang. Aku sendiri tak punya anak, jadi
kurawat mereka seperti anakku sendiri."
"Tuhan Maha Baik, manusia dapat hidup tanpa ayah ibunya, tapi tentu
saja manusia takkan dapat hidup tanpa Tuhannya", Matrena berkata.
Mendengar itu, Mikhail tidak lagi gelisah.
Ia berseri-seri dan
tersenyum untuk ketiga kalinya. Kali ini bukan wajahnya saja yang
bercahaya, tapi seluruh tubuhnya.
Sesudah tamu-tamu tersebut pulang, ia membungkuk di depan Simon dan
Matrena sambil berkata, "Maafkan semua kesalahan yang pernah kuperbuat,
apalagi telah membuat gelisah dengan tidak mau menceritakan asal usulku.
Aku dihukum Tuhan, tapi hari ini Tuhan telah mengampuni aku.
Sekarang
aku mohon pamit."
Simon dan Matrena tentu saja heran dan terkejut, "Nanti dulu Mikhail,
tolong jelaskan pada kami siapakah sebenarnya kau ini ? Mengapa selama
di sini kau hanya tersenyum tiga kali, dan mengapa tubuhmu sekarang
bercahaya ?" Mikhail menjawab sambil terus tersenyum,
"Sebenarnya aku adalah salah satu malaikat Tuhan. Bertahun-tahun yang
lalu Tuhan menugaskan aku menjemput nyawa ibu kedua anak tadi.
Aku
sempat menolak perintah Tuhan itu meskipun toh akhirnya kuambil juga
nyawa ibu mereka. Aku menganggapNya kejam. Belum lama mereka ditinggal
ayahnya, sekarang ibunya harus meninggalkan mereka juga. Dalam
perjalanan ke surga, Tuhan mengirim badai yang menghempaskanku ke bumi.
Jiwa ibu bayi menghadap Tuhan sendiri.
Tuhan berkata padaku,
'MIKHAIL,
TURUNLAH KE BUMI DAN PELAJARI KETIGA KEBENARAN INI HINGGA KAU MENGERTI:
PERTAMA, APAKAH YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA.
KEDUA, APA YANG TAK DIIJINKAN PADA MANUSIA.
KETIGA, APA YANG PALING DIPERLUKAN MANUSIA.
"Aku jatuh di halaman gereja, kedinginan dan kelaparan. Simon
menemukan dan membawaku pulang. Waktu Matrena marah-marah dan hendak
mengusir aku, kulihat maut di belakangnya. Seandainya ia jadi
mengusirku, ia pasti mati malam itu. Tapi Simon berkata, 'Tidakkah di
hatimu ada sedikit cinta kasih Tuhan??' Matrena jatuh iba dan memberi
aku makan.
Saat itulah aku tahu kebenaran pertama:
YANG HIDUP DALAM HATI
MANUSIA ADALAH CINTA KASIH TUHAN"
"Kemudian ada orang kaya yang memesan sepatu yang tahan satu tahun
sambil marah-marah. Aku melihat maut di belakangnya.
Ia tidak tahu
ajalnya sudah dekat. Aku tersenyum untuk kedua kalinya. Saat itulah aku
tahu kebenaran kedua:
MANUSIA TIDAK DIIJINKAN MENGETAHUI MASA DEPANNYA.
MASA DEPAN MANUSIA ADA DI TANGAN TUHAN"
"Hari ini datang ibu angkat bersama kedua anak kembar tadi.
Ibu
kandung si kembar itulah yang diperintahkan Tuhan untuk kucabut
nyawanya. Aku menyangsikan apakah si kembar dapat hidup tanpa ayah
ibunya padahal mereka masih bayi. Tapi ternyata ada seorang ibu lain
yang mau merawat dan mengasihi mereka seperti anak kandung sendiri.
Tadi
Matrena berkata, 'Tuhan Maha Baik, manusia dapat hidup tanpa ayah
ibunya, tapi tentu saja manusia takkan dapat hidup tanpa Tuhannya'.
Aku tersenyum untuk ketiga kalinya dan kali ini tubuhku bercahaya.
Aku tahu kebenaran yang ketiga:
MANUSIA DAPAT HIDUP TANPA AYAH DAN
IBUNYA TAPI MANUSIA TIDAK AKAN DAPAT HIDUP TANPA TUHANNYA.
Simon,
Matrena, terima kasih atas kebaikan kalian berdua. Aku telah mengetahui
ketiga kebenaran itu, Tuhan telah mengampuniku.
Kini aku harus kembali.
Semoga kasih Tuhan senantiasa menyertai kalian sepanjang hidup."
Seiring dengan itu, tubuh Mikhail terangkat dan tubuhnya makin bercahaya. Mikhail kembali ke surga.
Bu
Sally segera bangun ketika melihat dokter bedah keluar dari kamar
operasi. Dia bertanya dengan penuh harapan: Bagaimana anakku? Apakah dia
dapat disembuhkan? Kapan saya boleh menemuinya? Dokter bedah menjawab,
"Saya sudah berusaha sebaik mungkin, tapi sayangnya anak ibu tidak
tertolong".
Bu Sally bertanya dengan hati remuk, "Mengapa anakku yang tidak
berdosa bisa terkena kanker? Apa Tuhan sudah tidak peduli lagi? Dimana
Engkau Tuhan ketika anak laki-lakiku membutuhkan-Mu?
Dokter bedah bertanya, "Apa ibu ingin bersama dengan anak ibu untuk
beberapa waktu? Perawat akan keluar untuk beberapa menit sebelum
jenazahnya dibawa ke Universitas?". Bu Sally ingin agar perawat tinggal
bersamanya saat dia akan mengucapkan selamat jalan kepada anak
lelakinya. Dengan penuh kasih, dia mengusap rambut anaknya yang hitam
itu.
"Apa ibu ingin menyimpan sedikit rambutnya sebagai kenangan?" perawat
itu bertanya. Bu Sally mengangguk. Perawat memotong sedikit rambut dan
menaruhnya di dalam kantung plastik untuk disimpan.
Ibu Sally berkata, "Andi anakku ingin mendonorkan tubuhnya untuk
diteliti di Universitas. Dia mengatakan, mungkin dengan cara ini dia
dapat menolong orang lain yang memerlukannya. Awalnya saya tidak
memperbolehkannya, tetapi Andi menjawab: Ma, saya kan tidak membutuhkan
tubuh ini setelah mati nanti. Mungkin tubuhku dapat membantu anak lain
untuk bisa hidup lebih lama dengan ibunya."
Bu Sally terus bercerita, "Anakku itu memiliki hati emas. Andi selalu
memikirkan orang lain. Selalu ingin membantu orang lain selama dia bisa
melakukannya."
Bu Sally meninggalkan Rumah Sakit setelah menghabiskan waktunya selama
enam bulan di sana untuk merawat Andi. Dia membawa kantung yang berisi
barang-barang anaknya. Perjalanan pulang sungguh sulit baginya. Lebih
sulit lagi ketika dia memasuki rumah yang terasa kosong. Barang-barang
Andi ditaruhnya bersama kantung plastik yang berisi segenggam rambut itu
di dalam kamar anak lelakinya. Dia meletakkan mainan dan barang-barang
milik pribadi Andi, anaknya, ditempat Andi biasa menyimpan barang-barang
itu. Kemudian dibaringkan dirinya di tempat tidur. Dengan membenamkan
wajahnya pada bantal, dia menangis hingga tertidur.
Disekitar tengah malam, Bu Sally terjaga. Di samping bantalnya terdapat surat yang terlipat. Surat itu berbunyi :
Mama tercinta,
Saya tahu mama akan kehilangan saya; tetapi saya akan selalu
mengingatmu ma dan tidak akan berhenti mencintaimu walaupun saya sudah
tidak bisa mengatakan Aku sayang mama.
Saya selalu mencintaimu
bahkan semakin hari akan semakin sayang padamu ma. Sampai suatu saat
kita akan bertemu lagi. Sebelum saat itu tiba, jika mama mau mengadopsi
anak lelaki agar tidak kesepian, bagiku tidak apa-apa ma.
Dia
boleh tidur di kamarku dan bermain dengan mainanku. Tetapi jika mama
memungut anak perempuan, mungkin dia tidak melakukan hal-hal yang
dilakukan oleh kami, anak lelaki.
Mama
harus membelikannya boneka dan barang-barang yang diperlukan oleh anak
perempuan. Jangan sedih karena memikirkan aku ma. Tempat aku berada
sekarang begitu indah. Kakek dan nenek sudah menemuiku begitu aku sampai
di sana dan mereka menunjukkan tempat-tempat yang indah. Tapi perlu
waktu lama untuk melihat segalanya di sana.
Malaikat
itu sangat pendiam dan tampak dingin. Tapi saya senang melihatnya
terbang. Dan apa mama tahu apa yang kulihat? Yesus tidak terlihat
seperti gambar-gambar yang dilukis manusia. Tapi, ketika aku
melihat-Nya, aku yakin Dia adalah Yesus. Yesus sendiri mengajakku
menemui Allah Bapa! Tebak ma apa yang terjadi? Aku boleh duduk di
pangkuan Bapa dan berbicara dengan-Nya seolah-olah aku ini orang yang
sangat penting.
Aku menceritakan kepada Bapa bahwa aku ingin menulis surat kepada mama
untuk mengucapkan selamat tinggal dan kata-kataku yang lain. Namun aku
sadar bahwa hal ini pasti tidak diperbolehkan-Nya. Tapi mama tahu, Allah
sendiri memberikan sehelai kertas dan pensil-Nya untuk menulis surat
ini kepada mama.
Saya pikir malaikat Gabriel akan mengirimkan surat ini kepadamu ma.
Allah mengatakan akan menjawab pertanyaan mama ketika mama bertanya Di
mana Allah pada saat aku membutuhkan-Nya? Allah mengatakan Dia berada
bersama diriku seperti halnya ketika putera-Nya Yesus disalib.
Dia
ada di sana ma, dan dia selalu berada bersama semua anak.
Ngomong-ngomong, tidak ada orang yang dapat membaca apa yang aku tulis
selain mama sendiri. Bagi orang lain, surat ini hanya merupakan sehelai
kertas kosong. Luar biasa kan ma? Sekarang saya harus mengembalikan
pensil Bapa yang aku pinjam.
Bapa
memerlukan pensil ini untuk menuliskan nama-nama dalam Buku Kehidupan.
Malam ini aku akan makan bersama dengan Yesus dalam perjamuan-Nya. Aku
yakin makanannya akan lezat sekali.
Oh, aku hampir lupa memberitahukanmu ma. Aku sudah tidak kesakitan
lagi. Penyakit kanker itu sudah hilang. Aku senang karena aku tidak
tahan merasakan sakit itu dan Bapa juga tidak tahan melihat aku
kesakitan.
Itulah sebabnya mengapa Dia mengirim Malaikat Pembebas untuk
menjemputku. Malaikat itu mengatakan bahwa diriku merupakan kiriman
istimewa! Bagaimana ma?